Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa, kami
sama-sama tidak ada yang membahas tentang ‘pergesekan’ yang terjadi selama di
pondok. Meski aku sering memergoki reno yang semakin sering curi-curi pandang
kearah dada atau pahaku. Hanya sebatas itu, meskipun terkadang kalau berpapasan
denganya, dia pasti menyenggol pantatku, seolah-olah tidak sengaja.
Part II. Kesalahan fatal
Aku masih guling-guling di sofa ruang tamu.
Membaca status-status teman-teman Fb ku. Ada yang galau, ada yang lucu ada yang
pamer, Macam-macam. Aku kemudian melihat akun Reno, dia mengupdate status dan
fotonya 2 hari yang lalu. Dia duduk jongkok diantara segerombolan anak-anak SD
di acara Pocil. Polisi kecil. Mereka tertawa girang, reno juga tersenyum sambil
memeluk 2 orang anak cowok di kiri dan kanannya. Reno memang penyayang. Hmm...
aku jadi kembali teringat kisah lalu.
Tidak terasa aku sudah tamat SMA dan merantau
kepulau jawa untuk kuliah. Aku memilih Masuk ke ITB. Kami punya saudara dari
pihak Mama di bogor. Semester 1-2 aku tinggal dengan mereka. Ketika semester 3 aku lebih memilih kost.
Asalanku dengan mama dan papa adalah capet bolak-balik bandung bogor untuk
kuliah. Lebih baik mencari kost di sekitar kampung. Lebih efisien waktu dan
tenaga. Padalah aku lebih memilih kost karena aku bisa lebih bebas. Bisa pergi
dengan teman-teman hingga malam atau mengundang orang-orang yang ku kenal untuk
berkunjung ke kost ku dengan leluasa. Tanpa harus merasa tidak enak dengan
bibi.
Dua tahun tinggal dibandung sudah menjadikanku
seperti gadis bandung kebanyakan, modis dan fashionable. Wajahku memang sudah
cantik, di usia 21 tahun kegadisannku sempurna. Aku digandrungi banyak cowok,
dan menjadi idola di kampus. Bukan hanya di fakultasku, tapi di seluruh kampus.
Dari adik tingkat hingga senior, bahkan dosen-dosen muda juga banyak yang
menyukaiku. Tawaran untuk jalan atau pacaran terlalu sering kuterima.
Kawan-kawan ku banyak yang jadi tukang pos. Mengantarkan pesan dan salam dari
para penggemar. Lucu-lucu, ada yang pake surat kaya zaman dulu, ada yang nekat
berdiri di tengah lapangan kampus dan membuat tulisan ‘ I Love U sisca’. Tapi
dari sekian banyak orang yang mendekatiku, aku menaruh harapan kepada salah
seorang asisten dosen baru. Pak Prima, Kebetulan dia mengajar ilmu topografi.
Pelajaran yang paling aku gak mengerti. Dia masih muda, mungkin sekitar 26 atau
27 tahun, tinggi, keren, terkesan dingin dan cuek. Ketika sudah dekat denganya
ternyata orangnya ramah dan santun. Badannya gak kurus, gak juga gemuk. Tapi
full otot. Kulitnya putih, tapi mungkin karena sering berjemur jadi sedikit
kecoklatan. Meskipun cuek, dia supel dalam pergaulan dengan mahasiswa, gak
jaim. Sering nongkrong bareng mereka di kantin. Pak Prima juga Smart, cara dia
mengajar sangat mudah dipahami, bahasanya juga membumi. Dengan kata lain dia
hampir sempurna.
Dalam waktu singkat Pak Prima sudah menjadi idola
di antara mahasiswi. Kalau pak prima lewat, mahasiswi rata-rata jadi kecentilan
mendadak. Akupun juga ikut mengidolakannya.
Hari itu kami belajar dengan beliau, aku pandangi
dia dan memang wajahnya manis dan mempesona. Satu jam lebih dia mengajar, aku
tidak memperhatikan ucapannya sedikitpun, dan ku rasa setiap mahasiswi di
lokalku juga begitu. Entah sial atau malah beruntung, diakhir pelajaran pak
prima memberikan pertanyaan evaluasi dan aku yang disuruh menjawab. Aku jadi
gelagapan, menoleh kiri dan kanan mengharapkan bantuan dari teman-teman. Tapi
mereka juga langsung menunduk dan terkesan menjauh. Berharap tidak mendapatkan beban
yang sama yang aku hadapi. Aku jadi ikut menunduk. Idak tahu harus menjawab
apa.
“ gimana siska?” tegur pak Prima mengingatkan. Aku
mendongak, dan pak prima sudah berdiri setengah meter dari kursi ku. Aku Cuma
bisa cengir kuda. Dan berusaha mengeluarkan seluruh pesona yang aku punya. Dia
juga tersenyum dan melangkah mendekat. Diambilnya binder yang ada di tanganku,
aku mau menahannya tapi tenaga beliau lebih kuat. Aku berusaha merebutnya
kembali tapi terlambat. Dia membolak-balikan binderku, kemudia membaca
sebentar.
Oh
tuhannnn, di binderitu ada kutulis Prima I love U, aku mau menjadi ibu dari
anak-anakmu.
Dan di bawah tulisan itu ada gambar orang, dua
besar, dua kecil seolah-olah itu keluarga kami. Aku berharap dia tidak
membacakannya keras-keras di kelas.
“ siska, sudah hampir 2 bulan kita belajar tapi
isi bindermu Cuma ada judul mata kuliah doang, di ajar oleh saya. Gimana kamu
mau bisa?” tanyanya.
Aku diam saja.
“ sebagai hukumannya, kamu harus resum buku ini.”
Dia menyerahkan buku. Dan isinya sudah banyak yang digaris menggunakan stabilo.
“ resum yang sudah saya garis-garis saja. Dan harus menggunakan tulisan tangan.
Dari halaman 7 sampai halaman 32. Dikerjakan hari ini. Jam 5 serahkan dengan
saya.” Perintah beliau.
Ketika pelajaran berakhir, teman-teman sudah pada
bubar hanya menyisakan segelintir di dalam kelas. Pak prima mendekatiku lagi
dan menyerahkan buku tadi.
“nih bukunya, ingat serahkan ke saya jam lima di
kantor. Kamu masih ada mata kuliah?” tanya beliau.
“ Cuma nyampe jam 2 pak.” Jawabku.
“ Nah kalau begitu kamu punya waktu untuk
membuatnya.” Pak prima mendekat, dan mengucek pelan kepalaku. “mau jadi apa
kamu kalau malas dan ngammbar doang”. Ucapnya sambil tersenyum kemudian
melangkah keluar kelas meninggalkan aku yang melongok. Aku terdiam. Jantungku
bergemuruh, dan dadaku terasa sesak.
Pak prima
memengan kepalaku, ohhh tuhannnn. Bahagianya...
Aku senyum-senyum sendiri, dan tatapan iri sebagian teman mahasiswi yang
melihat kejadian tadi memicu semangatku untuk menulis resumenya.
.....
Hari sudah sore, jam 3. Aku masih menulis resum
nya sendirian di kelas. Teman-teman yang lain sudah pulang. Aku awalnya mau
pulang dan menulis di kost. Tap aku urungkan kalau sudah di kostan pasti
bawaanya mau tidur dan akhirnya tidak di kerjakan. Jadi aku bertekat untuk
menyelesaikannya di kampus. Menyelesaikannya tepat waktu dan membuatnya
terkesan.
Kringgg....kringgg....kringg....
Hp ku berdering, panggilan dari nomor baru.
“haloo” jawabku
“ halo,
ini siska?” tanya suara di ujung
telepon.
“ iya saya siska, ini siapa ya?” jawabku mulai
ketus, ini kayaknya para penggemar deh. Dari mana juga dapat nomor ku. Padahal
nomorku tidak aku publikasikan.
“ saya Prima,
kamu dimana sekarang, bisa anterin buku tadi gak, saya butuh buku itu
sekarang?”
Oh tuhannnn, laki-laki idaman yang sejak tadi di
hayalkan menelponku, aku jadi sumringah sendiri.
“ oh iya pak, nanti siska antar, sekarang siska
lagi ngerjain tugas dari bapak tadi.” Aku ubah nada suaraku semerdu yang aku
bisa.
“ pending
aja dulu, saya butuh sekarang. Kamu lagi sama siapa?” tanya nya.
“ sendiri pak.”
“ tolong
kamu anterin kerumah saya ya, nanti saya kasih alamatnya. Gak jauh dari kampus.
Kamu ada motor?” tanya beliau lagi.
“ ada pak. Iya siska antar bukunya sekarang. Smsin
aja alamatnya.” Sambungku. Ini salah satu kesempatan bisa kerumah pak Prima.
Aku jadi kegirangan. Dalam waktu lima menit aku sudah keluar kampus dan
mengarah kerumahnya.
Alamatnya mengarah kedaerah belakang kampus. Tidak
begitu jauh dari kostku, mungkin sekitar 500 meter paling jauh. Ia tinggal di
sebuah rumah bergaya kuno, pagar besi warna hijau. Ada halaman yang lumayan
luas di sebelah kanan rumah. Sebuah pohon alpukat yang rindang tumbuh disana,
dengan ayunan terbuat dari ban mobil tergantung di salah satu dahannya. Aku dorong
pagarnya, tidak terkunci. Aku melangkah kedalam, dan meninggalkan motor
terparkir diluar pagar. Dari depan pintu aku mencium aroma masakan yang sangat
harum. Aku jadi lapar. Dan memang aku belum makan sudah sarapan. Aku ketuk
pintunya.
Tok..tok..tok... Assalamualaikum....
Waalaikum
salam...
Ada sahutan
dari dalam, suara pak Prima.
Berselang sepuluh detik gagang pintu bergerak,
kepala pak Prima nongol. tidak ada suara langkah kaki yang terdengar ketika dia
melangkah untuk membuka pintu tadi.
“ eh siska, ayo masuk”
Dia kembali kebelakang, meninggalkan ku sendiri
diruang tamu. Dia mengenakan jeans biru gelap dengan atasan hanya singlet
berwarna putih. Lekukuan otot-otot lengannya terlihat jelas. Ada garis jelas
melingkar di lengan atasnya, garis yang membagi kulitnya menjadi putih dan
coklat. Garis yang timbul karena sengatan matahari yang dibatasi oleh baju
lengan pendek. Samar-samar ditutupi oleh singletnya ada bekas luka yang
membentang dari pundak kiri bawah leher sampai ke lengan kiri atas tidak jauh
dari lengan atas. Luka seperti bekas sayatan benda tajam.
Aku duduk di ruang tamu, aroma harum masakan itu
semakin jelas, aroma itu berasal dari dapur pak prima. Kalau seandaikan suatu
masakan hanya dinilai dari aromanya, mungkin masakan ini nilainya sembilan
puluh sembilan. Atau aku hanya terlalu lapar, jadi masakan ini tercium sangat
enak. Aku baru tahu kalau pak prima sudah punya istri. Istri yang pandai
memasak.
“ maaf ya saya meminta kamu antar bukunya. Saya
baru ingat kalau saya ada pekerjaan yang belum selesai.” Seru pak Prima dari
belakang. Antar aku dan dia terhalang oleh lemari tua yang tinggi.
“ kamu pasti belum makan kan? Kebetulan saya lagi
masak. Kita makan bersama aja.” Kepala pak Prima muncul dari balik dinding.
“ Bapak sedang masak?” aku bertanya, antara
bertanya antara penegasan. Aku juga bingung.
“ iya saya sedang masak. Ini sudah hampir selesai,
sini aja. Duduk di ruang tengah”
Aku bangkit, dan langsung masuk kedalam, enath apa
yang ada dibenakku yang jelas aku masuk saj, tidak ada perasaan takut atau
cemas. Tidak ada perasaan aneh bagi seorang gadis yang masuk kedalam rumah
seorang laki-laki. Aku juga mau melihat istrinya.
Ruang tengahnya lumayan besar, ada sofa butut
berwarna abu-bau kecoklatan dengan meja ditangahnya, menghadap sebuah TV
cembung model lama berukuran lebih kurang 32 inci. Dari ruangan ini juga ada
sebuah pintu keluar, mengarah kehalaman samping rumah. Aku melihat sekeliling,
tidak ada foto atau pajangan, hanya ada sebuah jam dinding yang tidak lagi berfungsi.
Jarum detik nya tidak lagi bergerak. Di samping sofa ada rak buku yang tidak
terlalu besar. Penuh dengan buku-buku, ada yang tebal, ada yang tipis, ada yang
seperti majalah. Di atas meja koran berbahasa Inggris, BBC News.
Aku duduk di sofa itu, memandang kearah pak prima.
Dia sendirian, tidak ada istrinya disana. Antara ruang tengan dan dapur hanya
dibatasi oleh dinding pembatas setinggi dada orang dewasa. Jadi aku bisa
melihat dengan jelas dia yang bolak balik di dapur.
“ istri Bapak mana?” tanya ku sambil mencoba
meraih koran yang tergeletak diatas meja.
Pak prima menoleh sebentar, kemudian tertawa.
“ ha.ha.ha, mana ada saya istri, saya belum laku.”
“jadi bapak sendiri yang masak?” lanjutku lagi
“ iya lah, emang sisca bisa liat dari tadi ada
orang yang membantu saya masak?” pak prima mengambil beberapa piring kemudian
kembali kearah kompor. Kemudian menghidangkannya diatas dinding pembatas,
dinding itu ternyata juga berfungsi sebagi meja makan.
“ ayo kita makan dulu, kamu pasti belum makan.” Sambung
pak Prima.
Aku belum beranjak dari sofa, aku bingung harus
bagaimana, satu sis aku memang udah lapar, satu sisi aku juga malu kalau harus
makan berdua dengannya, baru kenal, dia juga dosenku.
“ ayolah, masakan saya enak loh. Nyesal loh kalau
kamu tidak makan.” Sambungnya lagi. Dia melangkah ke kamarnya, tidak lama dia
keluar lagi. Sekarang sudah pakai baju kaos oblong.
Aku bangkit dari sofa dan bergerak kearah meja
makan. Ada tiga buah kursi tinggi tanpa sandaran. Aku duduk di tengah, kursi
yang berwarna biru muda. Dinding pembatas ini lumayan lebar, mungkin satu meter
lebarnya. Sangat pas menjadi meja makan. Lokasinya juga tepat. Di atas meja ini
ada Ayam yang dibaluri sambal berwarna merah, sup dengan sayuran dan sesuatu
berwarna putih. Aku tidak tahu apa.
“ ayo makan, gak usah malu-malu.” Ujar pak prima
yang sekarang sudah duduk di seberang meja. Menghadap kearahku.
Suapan pertama membuat ku kaget, ini masakan enak
sekali, lebih enak dari masakan ibuku atau rumah makan manapun yang pernah ku
coba. Pedasnya pas, aroma nya juga luar biasa. Aku coba supnya, enak dan yang
putih-putih ini bikinku penasaran.
“ ini apa pak?” tanya ku sambil mengangkat benda
itu di atas sendok.
“ itu namanya kulit tahu, kamu belum pernah makan
itu ya?” jawab pak Prima sambil tersenyum. Senyumnya manis sekali. senyuman nya juga membuat kewanitaanku jadi basah. ada yang mengalir dari dalam tanpa di perintah...
BERSAMBUNG.....
BERSAMBUNG.....
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletesuka banget kak ceritanya, buruan lanjutin dong bikin yg tambah hot
Deleteduh pak prima gimn ljutan nya i like
ReplyDelete