ini blog yang berisikan kisah-kisah seks sedarah. bagi agan-agan yang tidak berminat dengan konten ini silahkan di minati. wkwkwkw

Wednesday, February 3, 2016

DILEMA CINTA SIMALAKAMA IV



Bel berbunyi, dua jam pelajaran pertama, pelajaran bahasa inggris sudah selesai. Saatnya belajar fisika. Teman-temanku mulai heboh, cemas dan ketakutan. Aura mencekam langsung menyelimuti kelas. Kami langsung mengeluarkan buku PR. Berusaha membahas jawabannya. Aku dan geng ku, Iren, Lita dan zi membuka pr kami. Lita sebagai yang paling pintar di antara kami berusaha mengoreksi jawaban PR kami. Berusaha membantu semampunya. Dia kaget ketika membuka PR ku. Dan melihat punya nya.
“ panjang amat jawaban loe sis, gimana cara kamu ngerjainya?” tanya Lita
Aku Cuma cengir-cengir kuda dengan pertanyaan lita, aku juga bingung mau jawab apa.
“ aku gak kepikiran loh untuk mengerjakan seperti ini. Kamu dapat ilham dari mana?” kejar Lita lagi. Kedua teman ku yang lain juga memandangiku dengan penuh selidik. Penuh tanda tanya
“ hehe, yang ngerjainnya Reno. Itu kan bukan tulisanku. Itu tulisan Reno. Aku ketiduran malam tadi pas minta tolong dia bantu ngerjain PR.” Jawab ku sambil cengengesan.
Mereka menatap ku dengan pandangan aneh. Mungkin aneh seorang kakak minta bantu menyelesaikan PR kepada adiknya.
“ sepertinya jawaban loe benar deh sis.” Sambung lita lagi. Dia amati setiap jawaban PR ku, dan di samakan dengan Prnya.
Mendengar perkataan Lita, aku bukannya senang malahan cemas, karena kebiasaan pak Lubis, siswa yang bisa menjawab dengan benar akan di suruh mengerjakan di papan tulis, menjelaskan ke seluruh teman kelas. Mungkin mimpi ku malam tadi akan terjadi. Jika memang jawaban ini benar, aku bisa saja menyalinnya ke papan tulis, tapi bagaimana cara menjelaskannya. Awalnya saja aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Kecemasan ku makin menjadi ketika pak Lubis sudah melangkahkan kakinya ke dalam kelas. Seluruh kelas mendadak hening. Aura mencekam makin kuat terasa di seluruh penjuru kelas. Anak-anak berandal yang duduk di belakang ku biasanya super ribut juga hening. Suasana kelas lebih mencekam daripada kuburan.
“ kumpulkan PR kalian ke depan barisan masing-masing dan tukarkan seperti biasa” perintah pak lubis dengan aksen batak nya yang kental. Cara pak lubis mengoreksi hasil nya memang selalu seperti itu, setiap buku PR kami akan di kumpulkan di meja paling depan. Kemudian di tukarkan ke barisan berkelang satu dari barisan kami. Kami ada 4 baris, aku di barisan ke empat, berarti akan di tukar ke barisan ke dua. Barisan satu di tukar kebarisan ketiga. Begitu juga sebalikkanya.
Buku sudah di bagikan, kami sudah tidak lagi memegang buku kami masing-masing. Tidak ada yang tahu siapa yang mengoreksinya.. Semoga saja jawabanku tidak terlalu mencolok. Cukuplah nilainya Rata-rata di antra semuanya. Agar tidak di suruh maju ke depan. Biasanya iklimah, Diah dan Harun yang selalu benar. Trio juara kelas kami. Pasti salah satu di antara mereka yang maju menjelaskan. aku memegang buku Iklimah dan jawabannya tidak sepanjang jawaban di PR ku. Aku makin cemas. Dalam hati aku berharap, semoga jawaban Iklimah yang benar, bukan jawaban Reno.
Pak lubis menuliskan angka satu, dua dan tiga. Dan menuliskan hasil akhir dari ketiga PR kami. Hanya jawabannya saja. Tidak dengan penguraian nya.
“ ini jawaban atas PR kalian minggu lalu, angkat tangan siapa di antara kaliah yang  mengoreksi jawaban yang benar. Sebut kan nama temanmu itu?” suara berat pak lubis mulai mengudara.
Satu orang mengangkat tangan. Septi.
“ Punya diah pak, benar satu jawaban nomor 3. Yang lain salah”
Aku lihat jawaban iklimah yang aku koreksi. Nomor 3 benar, nomor 2 salah nomor satu salah. Aku lihat liza  mengangkat tangan.
“ Harun Benar satu pak, nomor 3.”
aku mengangkat tangan
“Iklimah juga benar satu pak. Nomor 3.”
Ya memang mereka yang selalu mengudara namanya, meskipun hanya benar satu tapi tetap lebih unggul dari yang lain. Dan mereka hanya benar nomor 3. Tidak dengan nomor  lain. Ada satu tangan lagi yang terangkat. Karim.
“ Wah yang ini benar semua pak.” Ucap Karim setengah berteriak kaget. Seisi kelas juga kaget dan langsung memandang ke arah Karim.
“ ini punya........” sambung karim lagi tapi kalimatnya masih menggantung, dia membalikkan buku yang dia pegang. Mau melihat nama siapa yang tertera di depan. Nama empu sang buku kebenaran. Mata karim langsung membelalak ketika membaca namanya, dia melihat kearah pak Lubis dengan tatapan nanar seolah tidak percaya. Seisi kelas juga tegang menunggu karim menyebutkan nama anak jenius baru yang mampu menyelesaikan PR fisika pak lubis. Nafasku jadi sesak, siapa dia, batinku.
“punya siapa karim?” Tanya pak Lubis
“ ini punya Siska pak!”
HAH....... seluruh kelas kompak mengatakan kata yang sama, kemudian memandangku. Beribu pertanyaan seolah terpancar dari tatapan mereka. Siska, seorang anak yang hanya bisa bersolek sekarang mendadak menjadi jenius sains. Selama ini hanya berada di peringkat biasa-biasa saja menjadi yang terdepan. Biasanya kalau semua salah ikut salah, semua sedang ikut sedang, semua benar baru ikut benar. Tidak pernah mencolok.  Teman ku sendiri juga memandangku dengan kaget. Tapi mereka tahu bahwa itu bukan hasilku, dan aku sekarang dalam masalah besar. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-pori kulitku. Tangan dan lututku gemetar, seolah mengahadapi putusan eksekusi mati. Wajah ku pucat pasi.
“ siapa lagi yang benar?” tanya pak lubis. Dan seluruh kelas hening. Keheningan yang menobatkan ku sebagai pemenang pertama.
“ siska, maju kedapan, tulis jawaban mu dan jelas kan ke teman-teman?” perintah pak lubis.
Aku bingung luar biasa, kaki ku terasa berat sekali untuk melangkah. Serasa ada beban 1 ton menggantung di kaki. Ruangan kelas terasa mengecil, aku berharap ada pahlawan yang menahanku dan menyelamatkan ku dari masalah ini. Tapi tidak ada tanda-tanda kemunculan pahlawan tersebut, dengan terpaksa aku bangkit. Aku berjalan ke arah karim mengambil buku ku. Diringi oleh tatapan kecurigaan dari seluruh kelas. Curiga bagaimana aku bisa berubah mendadak pintar. Aku berjalan kepapan tulis dan mengambil spidol yang ada di meja pak lubis. Sekarang Aku sudah menghadap papan tulis dengan spidol di tangan tanpa tahu apa yang harus di lakukan. Oh tuhan, Aku berharap mimpi malam tadi menjadi kenyataan. Tanganku bergerak dengan sendirinya. Tapi tanganku tetap tidak bergerak. Tidak bertindak sendiri. Dinding-dinding kelas yang berwarna orange serasa menjadi gelap. Suasana sangat hening. Hanya terdengar suara detik jarum jam yang bergerak, detik jam dinding menempel di belakang kelas.
Aku buka buku PR ku dan mulai menyalin tulisan Reno di buku PR ke papan tulis. Aku berusaha menyalinnya sama persis. Jarak, spasi, huruf dan tanda baca. Aku berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan. Rumus-rumus dan keterangan. Jawaban soal pertama sudah aku salin tanpa hambatan yang berarti, meskipun keringat dingin terus menucur di dahi. Sekarang aku mulai menuliskan jawaban untuk soal kedua.
“ berhenti dulu siska, coba kamu jelaskan ke teman mu bagaimana cara penyelesaian nya?”
Aku memutar badanku dan menatap pak lubis, tidak ada tatapan penuh kekaguman di wajahnya seperti mimpi malam tadi.  Yang ada hanya tatapan penuh selidik, tatapan yang sama dengan tatapan seluruh teman-teman yang lain. Aku terdiam, aku tundukkan wajah dan menatap buku PR di tangan. Aku tidak berani mengangkat wajah dan menatap mereka. Lidah ku kelu dan kaku. Aku lupa caranya berbicara.
Oh tuhan, bimbing lidahku seperti mimpi malam tadi. Apa yang harus aku jelaskan ke mereka. Batinku menjerit, aku merasa takut, aku juga merasa kesal kenapa otak ini begitu bodoh. Tidak mudah menangkap pelajaran yang di berikan. Kenapa otak encer itu hanya di turunkan ke Reno, tidak kepadaku juga. Bukankah kami satu genetik, satu kandungan dan berasal dari benih yang sama.
“ Ayo siska, jelaskan kepada teman-temanmu?” Perintah pak lubis
“e.....” aku hanya berguman singkat, kemudian hening, bingung mau berkata apa. Aku tidak tahu dari mana harus memulai.
“ayo jelaskan, jawaban yang kau tuliskan itu benar. Sekarang saya mau dengar bagaimana kau bisa menyelesaikan soal itu. Dari empat kelas yang saya berikan tiga soal itu. Hanya kau yang benar semua.” Jelas Pak lubis. Fakta bahwa aku sendiri yang benar membuat nyaliku makin ciut.
“ Ayo siska, mungkin kau adalah anak jenius yang selama ini menyembunyikan kemampuan?” Pak Lubis mulai meledek. Dan terdengar tawa dari seisi kelas.
Aku makin bingung harus menjawab apa, ledekan pak lubis barusan membuatku serasa ingin menangis.
“ saya jadi curiga jangan-jangan bukan kau yang mengerjakan PR itu, iya kan?” selidik Pak Lubis lagi setangah membentak. Suaranya berat. Aksen bataknya makin kentara
“ coba saya lihat Buku PR mu?” pak lubis melangkah mendekat dan mengambil buku dari tanganku. Lebih tepatnya merampas. Aku masih tertunduk tidak berani menatapnya.
“ benarkan, ini bukan tulisan mu, tulisan tangan ini berbeda dengan tulisan tangan di lembar-lembar sebelumnya.” Gumam pak lubis sambil membolak-balikkan halam per halaman. Menyocokkan tulisan tangan yang ada disana.
Hancurlah aku, aku akan menjadi bahan ejekan seumur hidup lagi. Terasa air mataku mulai berlinang, aku makin tidak berani mengangkat kepala.
“ siapa yang mengerjakan ini?” Tanya pak lubis
Aku masih diam seribu bahasa, tidak tahu harus menjawab apa. Jujur salah berbohong salah.
“ saya kenal tulisan itu pak!” terdengar sahutan dari tengah kelas, Itu suara karim. Yang mengoreksi PR ku tadi
“ itu tulisannya Reno, adik siska.” 
(demi keberlangsungan blog ini, kami mengharapkan kesediaan  pembaca untuk meng-klik iklan-iklan yang ada di blog ini sebagai donasi kepada para penulis. terima kasih)

No comments:

Post a Comment