Bel berbunyi, dua jam pelajaran pertama, pelajaran
bahasa inggris sudah selesai. Saatnya belajar fisika. Teman-temanku mulai
heboh, cemas dan ketakutan. Aura mencekam langsung menyelimuti kelas. Kami
langsung mengeluarkan buku PR. Berusaha membahas jawabannya. Aku dan geng ku,
Iren, Lita dan zi membuka pr kami. Lita sebagai yang paling pintar di antara
kami berusaha mengoreksi jawaban PR kami. Berusaha membantu semampunya. Dia
kaget ketika membuka PR ku. Dan melihat punya nya.
“ panjang amat jawaban loe sis, gimana cara kamu ngerjainya?” tanya Lita
Aku Cuma cengir-cengir kuda dengan pertanyaan
lita, aku juga bingung mau jawab apa.
“ aku gak kepikiran loh untuk mengerjakan seperti
ini. Kamu dapat ilham dari mana?” kejar Lita lagi. Kedua teman ku yang lain
juga memandangiku dengan penuh selidik. Penuh tanda tanya
“ hehe, yang ngerjainnya Reno. Itu kan bukan
tulisanku. Itu tulisan Reno. Aku ketiduran malam tadi pas minta tolong dia bantu
ngerjain PR.” Jawab ku sambil cengengesan.
Mereka menatap ku dengan pandangan aneh. Mungkin
aneh seorang kakak minta bantu menyelesaikan PR kepada adiknya.
“ sepertinya jawaban loe benar deh sis.” Sambung
lita lagi. Dia amati setiap jawaban PR ku, dan di samakan dengan Prnya.
Mendengar perkataan Lita, aku bukannya senang
malahan cemas, karena kebiasaan pak Lubis, siswa yang bisa menjawab dengan
benar akan di suruh mengerjakan di papan tulis, menjelaskan ke seluruh teman
kelas. Mungkin mimpi ku malam tadi akan terjadi. Jika memang jawaban ini benar,
aku bisa saja menyalinnya ke papan tulis, tapi bagaimana cara menjelaskannya.
Awalnya saja aku tidak tahu harus mulai dari mana.
Kecemasan ku makin menjadi ketika pak Lubis sudah
melangkahkan kakinya ke dalam kelas. Seluruh kelas mendadak hening. Aura
mencekam makin kuat terasa di seluruh penjuru kelas. Anak-anak berandal yang
duduk di belakang ku biasanya super ribut juga hening. Suasana kelas lebih
mencekam daripada kuburan.
“ kumpulkan PR kalian ke depan barisan masing-masing
dan tukarkan seperti biasa” perintah pak lubis dengan aksen batak nya yang
kental. Cara pak lubis mengoreksi hasil nya memang selalu seperti itu, setiap
buku PR kami akan di kumpulkan di meja paling depan. Kemudian di tukarkan ke
barisan berkelang satu dari barisan kami. Kami ada 4 baris, aku di barisan ke
empat, berarti akan di tukar ke barisan ke dua. Barisan satu di tukar kebarisan
ketiga. Begitu juga sebalikkanya.
Buku sudah di bagikan, kami sudah tidak lagi
memegang buku kami masing-masing. Tidak ada yang tahu siapa yang
mengoreksinya.. Semoga saja jawabanku tidak terlalu mencolok. Cukuplah nilainya
Rata-rata di antra semuanya. Agar tidak di suruh maju ke depan. Biasanya
iklimah, Diah dan Harun yang selalu benar. Trio juara kelas kami. Pasti salah
satu di antara mereka yang maju menjelaskan. aku memegang buku Iklimah dan
jawabannya tidak sepanjang jawaban di PR ku. Aku makin cemas. Dalam hati aku
berharap, semoga jawaban Iklimah yang benar, bukan jawaban Reno.
Pak lubis menuliskan angka satu, dua dan tiga. Dan
menuliskan hasil akhir dari ketiga PR kami. Hanya jawabannya saja. Tidak dengan
penguraian nya.
“ ini jawaban atas PR kalian minggu lalu, angkat
tangan siapa di antara kaliah yang
mengoreksi jawaban yang benar. Sebut kan nama temanmu itu?” suara berat
pak lubis mulai mengudara.
Satu orang mengangkat tangan. Septi.
“ Punya diah pak, benar satu jawaban nomor 3. Yang
lain salah”
Aku lihat jawaban iklimah yang aku koreksi. Nomor
3 benar, nomor 2 salah nomor satu salah. Aku lihat liza mengangkat tangan.
“ Harun Benar satu pak, nomor 3.”
aku mengangkat tangan
“Iklimah juga benar satu pak. Nomor 3.”
Ya memang mereka yang selalu mengudara namanya,
meskipun hanya benar satu tapi tetap lebih unggul dari yang lain. Dan mereka
hanya benar nomor 3. Tidak dengan nomor
lain. Ada satu tangan lagi yang terangkat. Karim.
“ Wah yang ini benar semua pak.” Ucap Karim setengah
berteriak kaget. Seisi kelas juga kaget dan langsung memandang ke arah Karim.
“ ini punya........” sambung karim lagi tapi kalimatnya
masih menggantung, dia membalikkan buku yang dia pegang. Mau melihat nama siapa
yang tertera di depan. Nama empu sang buku kebenaran. Mata karim langsung
membelalak ketika membaca namanya, dia melihat kearah pak Lubis dengan tatapan
nanar seolah tidak percaya. Seisi kelas juga tegang menunggu karim menyebutkan
nama anak jenius baru yang mampu menyelesaikan PR fisika pak lubis. Nafasku
jadi sesak, siapa dia, batinku.
“punya siapa karim?” Tanya pak Lubis
“ ini punya Siska pak!”
HAH....... seluruh kelas kompak mengatakan kata
yang sama, kemudian memandangku. Beribu pertanyaan seolah terpancar dari
tatapan mereka. Siska, seorang anak yang hanya bisa bersolek sekarang mendadak
menjadi jenius sains. Selama ini hanya berada di peringkat biasa-biasa saja
menjadi yang terdepan. Biasanya kalau semua salah ikut salah, semua sedang ikut
sedang, semua benar baru ikut benar. Tidak pernah mencolok. Teman ku sendiri juga memandangku dengan
kaget. Tapi mereka tahu bahwa itu bukan hasilku, dan aku sekarang dalam masalah
besar. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-pori kulitku. Tangan dan
lututku gemetar, seolah mengahadapi putusan eksekusi mati. Wajah ku pucat pasi.
“ siapa lagi yang benar?” tanya pak lubis. Dan
seluruh kelas hening. Keheningan yang menobatkan ku sebagai pemenang pertama.
“ siska, maju kedapan, tulis jawaban mu dan jelas
kan ke teman-teman?” perintah pak lubis.
Aku bingung luar biasa, kaki ku terasa berat
sekali untuk melangkah. Serasa ada beban 1 ton menggantung di kaki. Ruangan
kelas terasa mengecil, aku berharap ada pahlawan yang menahanku dan
menyelamatkan ku dari masalah ini. Tapi tidak ada tanda-tanda kemunculan
pahlawan tersebut, dengan terpaksa aku bangkit. Aku berjalan ke arah karim
mengambil buku ku. Diringi oleh tatapan kecurigaan dari seluruh kelas. Curiga
bagaimana aku bisa berubah mendadak pintar. Aku berjalan kepapan tulis dan
mengambil spidol yang ada di meja pak lubis. Sekarang Aku sudah menghadap papan
tulis dengan spidol di tangan tanpa tahu apa yang harus di lakukan. Oh tuhan,
Aku berharap mimpi malam tadi menjadi kenyataan. Tanganku bergerak dengan
sendirinya. Tapi tanganku tetap tidak bergerak. Tidak bertindak sendiri.
Dinding-dinding kelas yang berwarna orange serasa menjadi gelap. Suasana sangat
hening. Hanya terdengar suara detik jarum jam yang bergerak, detik jam dinding menempel
di belakang kelas.
Aku buka buku PR ku dan mulai menyalin tulisan
Reno di buku PR ke papan tulis. Aku berusaha menyalinnya sama persis. Jarak,
spasi, huruf dan tanda baca. Aku berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Rumus-rumus dan keterangan. Jawaban soal pertama sudah aku salin tanpa hambatan
yang berarti, meskipun keringat dingin terus menucur di dahi. Sekarang aku
mulai menuliskan jawaban untuk soal kedua.
“ berhenti dulu siska, coba kamu jelaskan ke teman
mu bagaimana cara penyelesaian nya?”
Aku memutar badanku dan menatap pak lubis, tidak
ada tatapan penuh kekaguman di wajahnya seperti mimpi malam tadi. Yang ada hanya tatapan penuh selidik, tatapan
yang sama dengan tatapan seluruh teman-teman yang lain. Aku terdiam, aku
tundukkan wajah dan menatap buku PR di tangan. Aku tidak berani mengangkat
wajah dan menatap mereka. Lidah ku kelu dan kaku. Aku lupa caranya berbicara.
Oh tuhan,
bimbing lidahku seperti mimpi malam tadi. Apa yang harus aku jelaskan ke
mereka. Batinku menjerit, aku
merasa takut, aku juga merasa kesal kenapa otak ini begitu bodoh. Tidak mudah
menangkap pelajaran yang di berikan. Kenapa otak encer itu hanya di turunkan ke
Reno, tidak kepadaku juga. Bukankah kami satu genetik, satu kandungan dan berasal
dari benih yang sama.
“ Ayo siska, jelaskan kepada teman-temanmu?”
Perintah pak lubis
“e.....” aku hanya berguman singkat, kemudian
hening, bingung mau berkata apa. Aku tidak tahu dari mana harus memulai.
“ayo jelaskan, jawaban yang kau tuliskan itu
benar. Sekarang saya mau dengar bagaimana kau bisa menyelesaikan soal itu. Dari
empat kelas yang saya berikan tiga soal itu. Hanya kau yang benar semua.” Jelas
Pak lubis. Fakta bahwa aku sendiri yang benar membuat nyaliku makin ciut.
“ Ayo siska, mungkin kau adalah anak jenius yang
selama ini menyembunyikan kemampuan?” Pak Lubis mulai meledek. Dan terdengar
tawa dari seisi kelas.
Aku makin bingung harus menjawab apa, ledekan pak
lubis barusan membuatku serasa ingin menangis.
“ saya jadi curiga jangan-jangan bukan kau yang
mengerjakan PR itu, iya kan?” selidik Pak Lubis lagi setangah membentak.
Suaranya berat. Aksen bataknya makin kentara
“ coba saya lihat Buku PR mu?” pak lubis melangkah
mendekat dan mengambil buku dari tanganku. Lebih tepatnya merampas. Aku masih
tertunduk tidak berani menatapnya.
“ benarkan, ini bukan tulisan mu, tulisan tangan
ini berbeda dengan tulisan tangan di lembar-lembar sebelumnya.” Gumam pak lubis
sambil membolak-balikkan halam per halaman. Menyocokkan tulisan tangan yang ada
disana.
Hancurlah aku, aku akan menjadi bahan ejekan
seumur hidup lagi. Terasa air mataku mulai berlinang, aku makin tidak berani
mengangkat kepala.
“ siapa yang mengerjakan ini?” Tanya pak lubis
Aku masih diam seribu bahasa, tidak tahu harus
menjawab apa. Jujur salah berbohong salah.
“ saya kenal tulisan itu pak!” terdengar sahutan
dari tengah kelas, Itu suara karim. Yang mengoreksi PR ku tadi
“ itu tulisannya Reno, adik siska.”
(demi
keberlangsungan blog ini, kami mengharapkan kesediaan pembaca untuk
meng-klik iklan-iklan yang ada di blog ini sebagai donasi kepada para
penulis. terima kasih)
No comments:
Post a Comment