PART I GADIS MALANG
Pagi ini entah mengapa aku sangat malas melakukan
aktifitas. Mataku masih bengkak akibat semalam. Ucapan-ucapan dengan penuh
amaran yang di lontarkan papa malam tadi sangat menyakitkan hati ini. Ingin
rasanya aku menemui tuhan dan mengakhiri semua kepiluan ini. Tidak lagi
mendapatkan makian dari papa. Apakah mereka tidak pernah muda? Apakah ketika
muda mereka tidak pernah sekalipun melakukan kesalahan? Apakah memang aku yang
paling bersalah dari semua ini? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu
terngiang-ngiang di kepalaku. Aku bangkit dari pembaringan, duduk di ujung
ranjang berseprai Pink. Menghadap kecermin kamar yang menampilkan bayangannku
yang sangat kusut. Mata bengkak dan hitam. Aku seolah tidak mengenali siapa
yang ada di cermin. Di luar jendela Seekor Kolibri hinggap di bougenfile ungu
yang kutanam di salah satu pot di ujung balkon kamar. Sesekali dia bersiul,
berpindah dari satu tangkai ke tangkai yang lain. Kicauannya riang, entah apa
yang dipikirkan oleh burung mungil itu. Bersiul tanpa beban dan hambatan. Tidak
harus takut apa yang harus di lakukan esok hari, tidak harus kena omelan dari
orangtua, tidak perlu cemas apa yang akan terjadi di masa depan.
Tok...tok...
“kak, bangun. Kunci pintu rumah. Aku mau
berangkat” suara adikku, Reno terdengar dari balik pintu. Aku buka gerendel
pintu kamar dan melangkah gontai keluar.
“sarapan udah siap di meja makan. Aku hari ini
mungkin pulang malam. Papa dan mama nanti siang pulang, tapi mau pergi lagi.
Kakak jangan pergi-pergi keluar dulu ya?” ujar Reno sambil mengikat tali
sepatu. Aku diam saja, duduk memperhatikannya dari kursi tamu. Reno berdiri dan
menyambar tasnya dan berjalan menuju Ninja R 250cc kesayangannya. Aku turut
mengantarkannya ke pintu pagar.
“udah gak usah sedih lagi, besok papa dan mama
pergi. Kita jalan-jalan. Ok?” Reno tersenyum kepadaku. Aku balas
dengan senyuman singkat.
Reno pun berangkat, deru motornya sudah hilang di
ujung gang. Aku tutup kembali pintu pagar dan kembali kedalam. Cuma reno yang
masih menganggapku manusia di rumah ini. Dia adik yang sangat sempurna. Pintar,
tampan, dan mapan. Meski di usia yang masih sangat muda dia sudah mandiri
secara ekonomi. Berbeda sekali denganku, hanya sampah yang selalu memberatkan
kedua orang tua. Setidaknya itu yang di rasakan oleh kedua orangtuaku.
Mau
kuliah ke Bandung katanya biar masa depan
terjamin,gampang cari kerja, udah ngabisin uang banyak. Tetap saja gak berguna.
Coba kamu lihat reno, usianya baru 20 tahun, lulus kepolisian tanpa sepeserpun
papa perlu mengeluarkan uang. Lulus SMA dengan nilai paling tinggi di sekolah.
Selalu dapat bea siswa. Selalu peringkat satu. Setiap papa ketemu gurunya
selalu di puji. Dapat medali emas pekan olahraga pelajar. Apa kamu tidak malu
dengan keadaan kamu sekarang ini. Dimana-mana anak laki yang biasanya nakal,
bukan perempuan. Ini kenapa kamu malah yang berulah. Papa bisa maklum kalau
reno yang nakal, tapi kalian seperti bumi dan langit. Apa yang mau kamu
andalkan untuk hidup kamu kedepan? Mau ngandalin wajah cantik doang. Mau jadi
pelacur?
Makian-makian ayah malam tadi masih
terngiang-ngiang di benakku. Kata-kata pedas yang menjadi santapan pagi, siang,
malam selama sebulan aku pulang kerumah. Tidak ada kata manis, hanya ada makian
dan di banding-bandingkan dengan Reno. Reno hebat, aku tidak ada apa-apa, Reno
pemenang, Aku pecundang. Aku juga tidak bisa mau menyalahkan Reno. Memang dia
selalu menjadi idola dari kami masih kecil. Aku bisa membaca dan menulis ketika
masuk SD. Reno sudah bisa membaca dan menulis bahkan sebelum dia masuk ke TK.
Di SD dia sudah menarik perhatian semua guru di tiga bulan pertama dia duduk di
kelas 1. Sedangkan aku hanya anak yang antara ada dan tiada. Ada tidak
berpengaruh, tidak ada pun tak apa-apa. Jantungku makin bergemuruh setiap
kenangan-kenangan masa kecil melintas. Waktu itu aku kelas tiga SD, Reno kelas
I. Aku dimarah oleh papa karena membawa pulang nilai 0. Aku bingung dengan
pengurangan dengan cara turun kebawah dan meminjam angka. Malamnya mama
mengajarkan ku cara pengurangan jalan kebawah. Dan reno ikut belajar di
sebelahku. Besok disekolah aku di suruh mengerjakan soal serupa di papan tulis
oleh guru kami dan entah kenapa aku lupa cara menyelesaikan soal seperti itu
padahal baru malam tadi diajarkan oleh mama. Aku kebingungan di depan kelas.
Entah apa yang harus aku coret kan ke papan tulis ini. Dalam kebingungan ini
ada tangan kecil yang mengambil alih kapur dari tanganku dan mengerjakan satu
soal yang di tuliskan guru di papan tulis. Setelah menuliskan dia berbicara
singkat ke guruku kemudian melangkah keluar kelas dengan gontai. Meninggalkan
seisikelas yang masih terperangah. Reno, ya, tangan kecil itu tangan Reno. Dia
yang mengerjakan soal siswa kelas tiga SD hanya dengan pembelajaran singkat di
malam hari. Mulai hari itu Reno menjadi populer di kalangan guru dan
teman-teman bahkan di tegaskan lagi oleh kepala sekolah ketika upacara, dan aku
makin menjadi bahan olokan oleh teman dan guru-guru. Aku adalah kakak yang
diselamatkan oleh adik kecil.
Di SMP kami berbeda sekolah, aku tidak bisa masuk
ke SMP favorit karena nilaiku tidak cukup. Reno sudah pasti lulus. Ketika SMA
aku dan Reno satu seolah lagi. Kejadian-kejadian itu kembali lagi. Aku cukup
popular di SMA, aku dianugrahi wajah yang lumayan cantik. Perpaduan Papa Bugis
dan mama yang Chinese menjadikan aku dan Reno memiliki wajah yang lumayan
menarik. Aku terpilih menjadi mayoret I di Ekstrakulikuler Drum band sekolah
sejak kelas II. Meskipun cantik, dalam hal pelajaran aku tetap berada di
kalangan menengah kebawah. Dan Reno, tetap sama seperti sebelumnya. Selalu
berada di puncak yang tidak mampu aku jangkau. Di tahun pertamanya di SMA reno
memenangi medali emas perlombaan Silat tingkat provinsi. Dia memang hobi di
bidang itu, sering ikut papa latihan sejak kecil. Dan saat itu dia menuai
hasil. Aku yang selama ini hanya dipuja oleh kalangan cowok, mulai di dekati
oleh cewek-cewek yang minta di comblangin sama reno. Dari kelas satu sampai
teman-teman kelasku, kelas tiga. Bangga juga rasanya memiliki adik yang jadi
idola. Dan hikmah terbesar bagiku, sudah tidak ada lagi anak-anak cowok yang
berusaha melecehkanku, mengintip kedalam Rok sekolahku atau pelecehan-pelecehan
lain. Pulang dan pergi sekolah aku di bonceng oleh Reno. Dengan kemenangan di
perlombaan itu dia bisa membeli sepeda motor baru, Yamaha Vixion. Aku teringat
percakapan kami ketika pulang dari sekolah.
“ Dek, ada salam tuh dari Alya, temen kelas kakak”
“ Yang mana tuh?” jawab reno cuek sambil
pandangannya tetap fokus ke depan.
“ masa kamu gak tau sama Alya, dia populer loh.
Anaknya cantik, imut. Dia mayoret II”
“ohh...” jawab Reno singkat
“kok Cuma ohh sih?”
“ ya terus aku harus respon gimana?” Reno
memelankan laju sepeda motornya karena mulai masuk ke jalan raya. Kendaraan
mulai ramai.
“ ya respon lain dong, salam balik kek, apa kek,
cakep loh dek dia ini?”
“ gak ah, tetep gak secantik mayoret I nya, kalau
mayoret satunya yang ngasih salam, baru aku mau.” Ujar Reno sambil menoleh ke
belakang dan menatap mataku ketika kami berhenti sambil menunggu lampu merah
berganti hijau.
“ Ah, kamu suka bikin kakak GR.” Aku tersipu malu
mendengar Ucapan Reno.
“ tapi sering loh dek, temen-temen SMP kakak yang
gak kenal sama kamu, kalo ketemu kita lagi di luar sering menyangka kalau kamu
itu pacarnya kakak.?” Aku majukan kepalaku ke balik bahu kanannya berusaha
melihat ke wajahnya. Dan kalau orang luar melihat, kami memang terlihat seperti
sepasang anak muda yang sedang pacaran. Setiap boncengan dengan Reno aku tidak
segan-segan melingkarkan lenganku ke perutnya, memelukkanya dari belakang. Atau
sesekali tangankua bertumpu ke pahanya. Kami juga sering bercanda gurau di
jalan pulang, atau terkadang berhenti dulu di di tempat makan. Karena saat itu
dia masih kelas I SMA jadi belum punya pacar sendiri sedankan aku juga belum
ada pacar yang serius. Kami lebih suka menghabiskan waktu berdua. Kadang karena
aku boncengan dalam kondisi memeluknya dari belakang, otomatis payudaraku
menempel ke punggungnya. Aku santai aja dan tidak ada respon berlebih dari
reno. Terkadang di timpalinya dengan candaan.
“kak, nenen kakak dorong-dorong tuh. Kaya ada
balon di punggungku deh jadinya” ledek Reno
“ihhh.. adek jorok deh ngomongnya..” aku balas
cubit ke pinggangnya.
Reno tertawa terbahak-bahak, dan aku pun ikut
tertawa. Candaan kami memang terkadang terdengar vulgar, tapi disanalah letak
keakraban kami. Tidak canggung seperti kakak beradik yang lain. Kenangan-kenangan
itu terus mengalir di kepala ku. Aku merebahkan diri di sofa ruang keluarga.
Melihat sekilas kearah TV yang menayangkan gosip selebritis, seorang Vokalis
kenamaan keluar dari penahanan karena skandal video porno nya. tatapan ku ke
arah TV tapi pikiranku masih melayang kearah lain.
(demi keberlangsungan blog ini, kami mengharapkan kesediaan pembaca untuk meng-klik iklan-iklan yang ada di blog ini sebagai donasi kepada para penulis. terima kasih)
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete